Sabtu, 23 Oktober 2010

Demokrasi Indonesia ; Bangunan Tanpa Pondasi

Tak terasa demokrasi di negara kita telah lebih dari 10 tahun, proses pemilu yang diklaim sebagai cerminan demokrasi telah dilaksanakan berkali-kali mulai dari tingkat pusat sampai daerah, namun belum ada refleksi secara mendalam sampai pada tataran persoalan krusial secara menyeluruh dan disepakati bersama walaupun persoalan pro dan kontra sangat wajar adanya,.. refleksi yang selama ini ada dan di sepakati bersama hanyalah hasil menang kalah dari hasil pemilu dan tidak sampai pada apakah proses pemilu ini mencederai proses demokrasi yang digembar-gemborkan dan dicita-citakan.



Hal ini dapat kita lihat dan rasakan dalam kehidupan keseharian dimana tenyata masyarakat kebanyakan lebih memilih menentukan pilihannya karena alasan uang,.. adanya fenomena ini meniscayakan bahwa ada yang salah dalam proses panjang yang selama ini kita anggap baik-baik saja dan diterima dengan besar hati.

Seperti yang kita pahami bahwa demokrasi memberikan kita peluang untuk dapat mengungkapkan pendapat,.. namun apa jadinya jika pendapat yang kita kemukakan itu dipengaruhi atau bahkan berdasarkan uang??? tentunya hancurlah bangunan demokrasi yang selama ini di idam-idamkan…

Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana semua ini dapat terjadi??? apakah begitu bodohnya para penyelenggara pemilu yang pastinya mengetahui dan melihat kondisi ini namun masih menjalankannya dengan tidak mengindahkan persoalan yang begitu substansial karena menyangkut pada apakah tercapai tidaknya tujuan awal demokrasi. yang tentunya hal ini kemudian menjadikan pencapaian tujuan berdemokrasi semakin jauh. alih-alih sebagai jalan demokrasi, pemilu hanya dijadikan jembatan untuk mendapatkan pemimpin.

Lalu bagaimana pula proses yang di bangun selama ini begitu rapuhnya, dengan mudahnya segelintir orang mencederai proses yang dibangun yang tentunya dengan biaya yang tidak sedikit pula. jadi ingat kata-kata dalam sebuah lagu… layu sebelum berkembang.

Demokrasi membutuhkan kesadaran masyarakat

Meledaknya gelombang massa pada tahun 1997-1998 oleh berbagai kalangan yang menelan korban yang tidak sedikit namun berhasil meruntuhkan rezim orde baru yang disebut sebagai reformasi dan seiring berjalannya proses demokrasi mulai di bangun. namun yang kita ketahui bersama pergerakan ini dilaksanakan terbatas hanya pada berbagai kalangan saja dalam negeri ini tanpa menyalahkan proses ini, seingat saya di tahun awal-awal reformasi tepatnya saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, tidak sedikit orang-orang masih lebih memilih kepemimpinan soeharto tentunya dengan berbagai alasannya masing-masing. ada yang mengatakan seandainya soeharto masih memimpin, keadaan negara kita tidak sekacau ini. hal ini memperlihatkan bahwa reformasi di bangun tanpa adanya kesadaran masyarakat secara meyeluruh akan tujuan reformasi, yang ada hanya salah kaprah dari masyarakat bahwa reformasi dilaksanakan adalah untuk menurunkan soeharto, tapi bukan membangun demokrasi seutuhnya, kondisi inilah yang kemudian berlarut-larut tanpa ada penyelasaian yang signifikan sehingga hingga hari ini setelah demokrasi telah berumur, pencapaian demokrasi seutuhnya belum juga tercapai. dengan kata lain kesadaran berdemokrasi yang dibangun selama ini hanya pada segelintir kalangan saja dan tidak menyeluruh kepada masyarakat. sedangkan sistem yang dikjalankan ini membutuhkan partisipasi masyarakat. sehingga sesuai yang saya katakan diatas bahwa bagaimana jadinya jika pendapat yang kita kemukakan itu dipengaruhi atau bahkan berdasarkan uang???

Sehingga kemudian agenda mendasar yang harus dibangun saat ini adalah kesadaran masyarakat akan demokrasi yang sebenarnya, sehingga dapat mengembalikan bangunan demokrasi pada jalurnya dan mengokohkan hingga dapat sampai pada tujuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komen yachh...trims..